Menciptakan Perdamaian Hakiki di Tengah Dinamika Perang
Oleh: Rohidin,SH,MH,M.Si
Mungkin kita masih ingat lagu bertajuk Perdamaian yang dilantunkan grup Nasidaria dan hits diera 1980-an. Lagu tersebut memiliki pesan indah yang sederhana yakni mengenai perdamaian dan perang. Manusia dalam lagu tersebut diilustrasikan sebagai korban perang dan sekaligus pencari perdamaian.
Lantas pada diri kita muncul pertanyaan: siapa sebenarnya yang menciptakan perang? Mengapa perang terjadi? Dan apa tujuan perdamaian? Ketiga pertanyaan itu sangat sederhana, namun membutuhkan pertanyaan yang mendalam. Bahkan untuk ketiga pertanyaan tadi kita perlu menelusuri sejarah dari abad ke abad.
Dalam perjalanan sejarah manusia, mungkin kita pernah mendengvar istilah there is no perpetual peace. Artinya tidak ada perdamaian yang abadi. Dari ungkapan tersebut tentu saja menjadi bahan refleksi kita atas realitas yang sesungguhnya. Memang benar, tidak ada perdamaian di muka bumi ini yang abadi. Terbukti, dari dulu sampai sekarang perang terus terjadi seolah ada yang menciptakan.
Begitu pun perdamaian. Setiap manusia di muka bumi ini selalu berjuang untuk mencapai perdamaian dan menolak peperangan yang terus berulang. Anehnya, berbeda dengan peperangan, justeru perdamaian nampak sulit sekali ditegakkan di muka bumi. Padahal, baik perdamaian maupun peperangan diciptakan oleh manusia. melihat realitas sesungguhnya di tengah kehidupan manusia perdamaian dan perang ibarat dua sisi mata uang yang tak terpisahkan.
Dalam konteks perang, terdapat berbagai aspek yang saling terkait. Di antaranya seperti aspek ekonomi, geopolitik, sistem budaya, sistem kemasyarakatan, sistem politik, organisasi, peran-peran sosial, hingga ideologi dan nilai-nilai pribadi. Perang sering kali lahir dari pertentangan kepentingan yang mendalam pada dimensi-dimensi tersebut. Namun, di balik konflik yang menghancurkan, selalu muncul harapan untuk mengupayakan perdamaian.
Perdamaian memiliki berbagai konteks dan dimensi. Misalnya, istilah ceasefire atau gencatan senjata kerap diartikan sebagai penghentian sementara konflik bersenjata. Namun, ini bukanlah solusi jangka panjang. Sebagai contoh, istilah truce juga mengacu pada kesepakatan gencatan senjata, sedangkan armistice menunjukkan situasi di mana dua negara yang sedang berperang menyepakati penghentian pertempuran sementara. Contoh nyata adalah situasi di Semenanjung Korea, yang hingga kini berada dalam status armistice tanpa kesepakatan damai yang final.
Menata Hukum dalam Status Gencatan Senjata
Untuk memastikan bahwa gencatan senjata dapat membawa perdamaian hakiki, diperlukan kerangka hukum yang kokoh. Tanpa dasar hukum yang kuat, status ini hanya menjadi jeda sementara sebelum konflik kembali pecah. Oleh karenanya, pendekatan hukum internasional yang tegas dan terstruktur menjadi kebutuhan mendesak.
Selain itu, perlu ada langkah konkret untuk merekonstruksi wilayah yang hancur akibat perang. Siapa yang bertanggung jawab atas pemulihan tersebut? Dari mana dana diperoleh untuk membangun kembali daerah yang luluh lantak oleh konflik? Pertanyaan-pertanyaan ini membutuhkan jawaban yang terintegrasi dengan hukum internasional, politik global, dan keadilan sosial.
Membangun kembali wilayah pasca-perang bukanlah tugas yang mudah. Kerusakan fisik dan psikologis yang ditimbulkan oleh perang memerlukan waktu dan sumber daya yang besar untuk dipulihkan. Di sinilah komunitas internasional memiliki tanggung jawab besar. Namun, upaya ini membutuhkan sistem hukum yang mampu mengatur tanggung jawab tersebut secara adil.
Salah satu langkah yang dapat diambil adalah menciptakan peraturan hukum internasional yang menetapkan mekanisme tanggung jawab negara-negara pelaku perang. Negara-negara yang terlibat dalam konflik harus diwajibkan untuk berkontribusi pada pemulihan wilayah yang terdampak. Sementara itu, badan-badan internasional seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dapat menjadi fasilitator utama dalam mengelola dana rekonstruksi.
Namun, pembentukan kerangka hukum ini bukan tanpa tantangan. Perlu ada kesepakatan global yang melibatkan semua negara, tanpa terkecuali. Konferensi internasional, simposium, dan dialog lintas negara dapat menjadi langkah awal untuk mencapai konsensus mengenai aturan ini. Sebagai hasilnya, dunia dapat memiliki satu hukum universal yang mengatur status gencatan senjata hingga ke tahap perdamaian hakiki.
Onelaw One Justice: Jalan Menuju Perdamaian Universal
Konsep Onelaw One Justice atau satu hukum satu keadilan menjadi visi besar dalam menciptakan perdamaian abadi. Dengan adanya satu aturan yang diterima secara universal, setiap negara memiliki kewajiban sama untuk mematuhi hukum tersebut. Tidak hanya dalam konteks gencatan senjata, tetapi dalam proses rekonstruksi dan penciptaan perdamaian.
Langkah awal menuju hal ini adalah menyelenggarakan konferensi dunia yang dihadiri oleh para pemimpin negara, akademisi, aktivis perdamaian, serta pakar hukum internasional. Dalam forum tersebut, berbagai perspektif dapat disatukan untuk melahirkan kebijakan global yang inklusif dan berkeadilan.
Selain itu, perlu disusun mekanisme pengawasan yang memastikan bahwa setiap kesepakatan yang dicapai dapat diterapkan dengan efektif. Badan-badan pengawas internasional harus memiliki wewenang untuk menegakkan aturan tersebut, termasuk memberikan sanksi kepada pihak-pihak yang melanggar.
Perdamaian hakiki tidak hanya sebatas penghentian konflik bersenjata, tetapi juga mencakup pemulihan hubungan antarnegara, peningkatan kesejahteraan masyarakat, serta penguatan nilai-nilai kemanusiaan. Dalam proses ini, setiap elemen masyarakat, baik individu maupun institusi, memiliki peran penting.
Penting untuk diingat bahwa perdamaian bukanlah suatu keadaan yang muncul begitu saja. Ia membutuhkan upaya bersama yang berkelanjutan, didukung oleh kerangka hukum yang kuat, serta komitmen moral dari setiap pihak yang terlibat. Dengan visi *Onelaw One Justice* dan kerja sama internasional, dunia dapat melangkah lebih dekat menuju perdamaian yang benar-benar abadi.
Dalam perjalanan menuju perdamaian hakiki, diperlukan kesadaran bahwa perdamaian dan perang adalah bagian dari dinamika kehidupan manusia. Namun, dengan tekad yang kuat dan langkah-langkah konkret, dunia dapat mengubah konflik menjadi peluang untuk membangun masa depan yang lebih baik. Mari kita bekerja bersama untuk menciptakan dunia yang damai, adil, dan sejahtera bagi semua. (Penulis adalah Sultan Patrakusumah VIII Trust of Guarantee Phoenix Ina 18).