Kesultanan di Tengah Hutan, Kok Bisa?
Penulis: Dono Darsono
SELACAU merupakan salah satu Kesultanana yang berdiri pada 497 tahun silam di tengah hutan di Kabupaten Tasikalaya bagian Selatan. Kesultanana yang memiliki luas wilayah lebih kurang 30 hektar, kini seolah bangkit kembali sebagai penanda sejarah perjuangan di Tatar Sunda. Pegiat cagar budaya Rohidin, bekerja hampir tujuh tahun untuk merekonstruksi situs-situs sejarah kesultanan. Hasilnya, luar biasa! Sang pegiat mampu mendesain kembali cagar budaya Kesultanan sesuai fakta sejarah yang sesungguhnya.
Kesultanan Selacau Tunggul Rahayu didirikan Kanjeng Gusti Prabu Surawisesa Raja Padjajaran putra dari Prabu Siliwangi. Kesultanana pada waktu itu dipimpin Sultan Patrakusumah pada 1527 Masehi. Kesultanan ini berdiri pada saat terjadi prahara di Kerajaan Padjadjaran. Kanjeng Gusti Prabu Surawisesa harus mendirikan Kesultanan untuk menjaga kelestarian nilai nilai luhur Padjadjaran Silih Asih, Silih Asah, Silih Asuh.
Kesultanan Selacau Tunggul Rahayu, merupakan kesultanan yang tidak terekspasi oleh kekuatan Mataram di Tatar Sunda. Pasalnya, kesultanan ini berada di wilayah pardikan atau wilayah yang disucikan (keagamaan) dibawah naungan Syech Abdul Muhyi sebagai pemuka Agama Islam. Agar tidak diserang Mataram, akhirnya Syech Abdul Muhyi, pada waktu itu secara resmi menyatakan bahwa kesultanan Selacau sebagai wilayah keagamaan.
Keberadaan Cagar Budaya Kesultanan Selacau tidak terlepas dari warisan budaya yang masih melekat dan aktif dalam menjaga tradisi dan budaya Sunda melalui berbagai kegiatan, seperti upacara adat, seni tradisional, pelatihan kesenian lokal, termasuk mengelola dan melestarikan cagar budaya. Rohidin sebagai pewaris cagar budaya menyadari bahwa melestarikan cagar budaya ini sebagai amanah leluhur yang patut dilaksanakan sebagaimana mestinya. “Kami senantiasa menjalin koordinasi dengan pemerintah. Perihal mengembangkan cagar budaya dilakukan mandiri tanpa bantuan dari manapun,”.
Sebagai destinasi wisata religi mandiri, Kesultananan Selacau sudah siap untuk memanjakan para pengunjungnya. Di tempat wisata ini pengunjung selain bisa menikmati keindahan bangunan kesultananan di tengah hutan, dinginnya tiupan angin pegunungan, juga dimanjakan oleh bangunan kesultnanan mulai pintu gerbang utama, hingga ke pernik-pernik artefak yang hingga kini masih terjaga kealiannya.
Di dalam dan belakang istana kesultananan terdapat situs berupa makam para pejabat kesultnan seperti makam KGP Surawisesa Parungponteng, Raja Komala Selaco Parungponteng, makam Sultan Agung Patrakusumah Sodong hilir, makam Eyang Raksaniti Parungponteng, makam R.Suryadiningrat Parungponteng, makam Dipasajaya Parungponteng, makam Kiayi Wastapajaya Parungponteng, situs makam Rd Mahmudsyah Sacataruna Sodong hilir, makam Kgp SusukTunggal Parungponteng, dan makam Syeh Syaripudin Parungponteng.
Merekonstruksi cagar budaya bukanlah pekerjaan gampang. Rohidin, selaku pewaris cagar budaya mengerahkan segala kekuatan dirinya untuk mewujudkan pembangunan cagar budaya yang monumental. Rohidin berkonsentrasi membangunan gedung utama di antaranya mesjid kesultanan, pendopo, tempat penjagaan situs, areal pendidikan dan pasar mini. Pembangunan tahap berikutnya, akan segera menghadirkan fasilitas untuk wisata umum berupa kolam renang, dan outbon berupa perikanan serta pertanian. Dengan adanya dua fasilitas dan didukung akses jalan utama yang bagus menuju cagar budaya Selacau diharapkan perekonmian masyarakat bisa bangkit dan merata.
Kesultanan Selacau Tunggul Rahayu terletak di Kampung Nagara Tengah, Desa Cibungur, Kecamatan Parung Ponteng, Tasikmalaya tercatat sebagai kesultananan yang berdaulat penuh dalam menjalankan aturan-aturan kesultanannya. Mahkamah Interansional mencatat sebagai Culture Heritage Selaco Federation dengan nomor lisensi: 78965.32.32 UNDP-56-XX.56.89.2018. Kemenkumham RI Nomor: AHU-0006177.AH.01.07/2018 menyatakan Selagodon Kingdom dinyatakan sebagai perkumpulan cagar budaya kesultnanan Selaco Tunggul Rahayu. “Pada 2018 Perserikatan Bangsa-Bangsa menyatakan Selacau sebagai warisan budaya peninggalan Kerajaan Padjajaran masa kepemimpinan Raja Surawisesa,” ungkap Sultan Rohidin, keturunan kesembilan dari Raja Padjadjaran Surawisesa dengan gelar Sultan Patra Kusumah VIII.
Pembangunan cagar budaya Selacau menuju destinasi wisata religi mandiri memang tidaklah mudah. Rohidin, SH, MH, M.Si, selaku pegiat dan pewaris cagar budaya membuka diri bagi siapapun termasuk pemerintah dalam pembangunan cagar budaya. Terlebih, ke depan cagar budaya ini akan dibuka secara luas sehingga membutuhkan transfortasi khusus kesultananan untuk antar jemput pengunjung dari satu situs ke situs lainnya. Di sinilah perlu pengelolaan secara profesional, ungkap Rohidin. ***