Kebangkitan Peradaban Sunda di Balik Budak Angon dan Budak Janggotan
Penulis: Rohidin, SH, MH, M.Si
Ketika saya masih kecil seringkali mendengar kisah Budak Angon dan Budak Janggotan. Bahkan, hingga kini kisah kedua budak itu masih terekam dalam otak lantaran memiliki makna flsofis mendalam dalam segi kehidupan. Dalam khasanah budaya Sunda, kedua tokoh ini bukan sekadar figur biasa. Akan tetapi, di balik kedua sosok ini terpancar cahaya harapan sebagai manusia unggul dan sekaligus pelopor kebangkitan peradaban Sunda menuju kejayaan baru.
Dalam pandangan saya, di balik simbol Budak Angon ternyata memiliki makna filosofi mendalam. Secara denotatif budak angon memiliki arti penggembala hewan seperti kambing, domba, sapi atau kerbau. Sementara, merujuk makna konotatif, budak angon bukan hanya sekedar pengembala semata, melainkan menggambarkan diri seseorang yang memiliki jiwa kepemimpinan dan mampu menggembalakan umat menuju jalan kebenaran.
Budak angon dipandang sebagai sosok individu yang memiliki kesadaran tinggi akan fitrah dan sunnah sebagai manusia sejati. Budak Angon dapat dijadikan lambang kesucian diri yang senantiasa mendekatkan diri kepada Sang Pencipta. Budak Angon merepresentasikan Ayatullah Kauniyah, yang berarti ayat alam semesta.
Lantas bagaimana dengan Budak Janggotan? Manakala kita kaji secara denotatif, budak janggotan tiada lain seseorang (individu) yang memiliki janggot (jenggot). Namun, ketika budak janggotan dikaji secara konotatif memiliki makna mendalam yakni seseorang bukan hanya sekadar berjanggut, melainkan seseorang yang memiliki keistimewaan. Ia adalah manusia pilihan yang membawa cahaya penerang bagi negeri. Budak Janggotan melambangkan figur yang memimpin dengan kebijaksanaan dan keteladanan moral tinggi.
Jengggot atau budak janggotan selama ini dimaknai sebagai seseorang yang berpikir dan bertindak bijak dan memiliki moral tinggi. Jenggot dalam kontek budaya sunda sebagai representasi Ayatullah Qauliyah, atau ayat yang tersurat dalam wahyu. Budak angon dan budak janggotan pada dasarnya sebagai representasi figur (individu) bertaqwa, bijak, dan bermoral, yang selama ini nyaris hilang di Tatar Sunda. Budak angon dan budak janggotan merupakan simbol ketokohan yang memiliki makna pesan spiritual mendalam. Mereka menunjukkan jika pusat kekuatan sejati terletak pada kesucian diri manusia itu sendiri.
Budak angon dan budak janggotan dalam khazanah budaya Sunda sebagai manusia pinunjul yang dirindukan masyarakat Sunda. Mereka berkeyakinan, manusia pinunjul kelak akan muncul dan bisa menjadi tauladan dan sekaligus tampil sebagai kholifah Parahyangan. Kedua sosok ini diyakininya sebagai pemimpin spiritual bermoral, yang budak angon dan budak janggotan memegang teguh nilai-nilai dasar kemanusiaan di tengah kehidupan masyarakat Sunda dan dunia.
Sang Nalendra. Itulah tokoh sentral dalam narasi n. Nalendra memiliki peranan sangat penting. Ia dikenal sebagai manusia pinunjul pada zamannya. Selain memiliki pandangan yang luas, taat pada ajaran budi pekerti, ia pun senantiasa mendekatkan diri kepada Sang Penguasa Alam. Setiap petuah atau wangsit yang disampaikan berasal dari hasil semedi untuk memohon petunjuk dari Sang Hyang Widhi, termasuk mengenai gambaran masa depan Pajajaran.
Sang Nalendra memberikan isyarat berupa kata-kata sederhana mengenai Pajajaran. Pajajaran akan bangkit kembali. Namun, kebangkitan ini bukanlah kebangkitan biasa, melainkan kebangkitan dalam era peradaban baru yang lebih sempurna. Tata nilai dan sistem budaya Sunda akan mengalami rekonstruksi, kembali ke fitrah aslinya. Hal ini menguatkan pandangan bahwa Sunda adalah Pajajaran, dan Pajajaran adalah Sunda. Dua hal yang tidak dapat dipisahkan.
Wangsit Siliwangi menyiratkan bahwa Sunda akan menjadi pusat rekonstruksi peradaban manusia secara global. Kebangkitan Sunda akan bersifat universal, global, holistik, dan suci. Dengan demikian, Sunda diharapkan mampu memimpin dunia menuju keadilan dan kesejahteraan umat manusia. Di bawah kendali pecut budak angon dan budak janggotan, masyarakat Sunda dapat hidup harmoni dengan memegang teguh prinsip silih asah, silih asih, dan silih asuh sebagai cerminan dari kemurnian ajaran Siliwangi yang sejati.
Kebangkitan Sunda dalam pandangan saya, bukan hanya soal individu, tetapi merupakan kesadaran kolektif. Dunia akan memandang Sunda sebagai induk generasi sekaligus pusat peradaban. Inilah sebabnya mengapa petunjuk dalam wangsit tersebut harus diperhatikan dan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Karena hanya dengan menjalankan ajaran tersebut, kita dapat mewujudkan harapan besar ini.
Untuk menyongsong kebangkitan Sunda, saya mengingatkan kembali masyarakat Tatar Sunda agar memahami dengan seksama petunjuk-petunjuk leluhur. Kita harus menjaga kesucian diri, menghidupkan kembali nilai-nilai budaya Sunda. Termasuk mempersiapkan diri menyambut kebangkitan peradaban Sunda yang luhur. Hanya dengan cara itu kita akan mampu mewujudkan kejayaan Sunda dalam panggung dunia, sebagaimana yang telah digariskan dalam wangsit leluhur. (Penulis adalah Sultan Patrakusumah VIII , Trust Of Guarantee Phoenix Ina 18, dan Pegiat Cagar Budaya).